Sabtu, 13 November 2010

BUNGA BANK MENURUT SYARI’AH ISLAM ( Paradigma Menuju Perbankan Syari’ah )

A. Perbankan
Perbankan adalah suatu lembaga yang melaksanakan tiga fungsi utama yaitu menerima simpanan uang, meminjamkan uang dan jasa pengiriman uang. Dalam perekonomian islam sejak jaman Rasulullah SAW, fungsi-fungsi tersebut adalah menerima titipan harta, meminjamkan uang untuk keperluan konsumsi dan keperluan bisnis serta melakukan pengiriman uang. Dari kegiatan tersebut sehingga Rasulullah SAW terkenal dengan julukan Al Amin artinya dapat dipercaya. Ia dipercaya oleh masyarakat Mekah menerima simpanan ( wadi’ah atau deposit) harta yang berarti yang dititipi tidak dapat memanfaatkan harta titipan tersebut. Seorang sahabat Rasulullah, Zubair bin al Awwam, memilih tidak menerima titipan harta, tetapi lebih suka dengan bentuk pinjaman ( ijaroh ). Konsep ini menimbulkan implikasi yang berbeda : pertama, dengan pinjaman maka beliau berhak untuk memanfaatkannya, kedua, karena bentuknya pinjaman , maka ia berkewajiban mengembalikan dalam keadaan utuh.
Pada jaman Bani Abbasiyah memang istilah bank tidak dikenal termasuk dalam khazanah keilmuan Islam. Yang dikenal adalah istilah jihbiz (penerima titipan), naqiq (kurir), sarraf (penukar uang). Kata jihbiz berasal dari bahasa Persia yang berarti penagih pajak. Istilah jihbiz mulai dikenal di jaman Mu’awiyah, yang ketika itu fungsinya sebagai penagih pajak dan penghitung pajak atas barang dan tanah. Di jaman Bani Abbasiyah, jihbiz popular sebagi profesi penukaran uang (money exchanger). Pada jaman tersebut mulai dikenalkan uang jenis baru yang disebut fulus yang terbuat dari tembaga. Dengan munculnya kecenderungan dikalangan gubernur untuk mencetak fulusnya masing-masing sehingga beredar banyak fulus dengan nilai yang berbeda-beda. Keadaan ini yang mendorong munculnya profesi baru yaitu penukaran uang. Dijaman tersebut selain melakukan penukaran uang juga menerima titipan dana, meminjamkan uang dan juga jasa pengiriman uang.

B. Bunga Bank
Bunga (interest/fa’idah,) adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang. Sesuai dengan fatwa MUI praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kreteria riba. Beberapa Ketetapan akan keharaman bunga bank oleh beberapa farum ulama’ internasional sebagai berikut :
1. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional MUI tahun 2000
2. Ijtima’ ulama’ Komisi Fatwa se-Indonesia pada tanggal 22 Syawwal 1424 H/16 Desember 2003
3. Keputusan Lajnah Tarjih Muhammadiyah tahun 1968 di Sidoarjo,
4. Keputusan Rapat Komisi Fatwa MUI, tanggal 3 Januari 2004
5. Keputusan Muktamar Islam II Lembaga Riset Islam Al Azhar, Kairo – Mesir, Muharram 1385 H/Mei 1965 M
6. Keputusan Muktamar Bank Islam II, Kuwait, 1403 H/1983.
7. Keputusan Muktamar II Lembaga Fikih Islam, Organisasi Konferensi Islam (OKI), Jeddah – Arab Saudi, 10-16 Rabi’utsani 1406H/22-28 Desember 1985 M
8. Keputusan Sidang IX Dewan Lembaga Fikih Islam, Rabithah Alam Islami, Makkah – Arab Saudi, 19 Rajab 1406 H
9. Keputusan dar al-itfa, Kerajaan Saudi Arabia, 1979
10. Keputusan Supreme Shariah Court Pakistan 22 Desember 1999
Dalam urusan mu’amalat, hukum sesuatu adalah diperbolehkan kecuali ada dalil yang melarangnya, ini berarti ketika suatu transaksi baru muncul di mana belum dikenal sebelumnya dalam hukum Islam, maka transaksi dianggap diterima kecuali terdapat implikasi dalil Al Qur’an dan Al Hadits yang melarangnya secara eksplisit dan implisit. Begitu juga dalam kegiatan perbankkan diperbolehkan kecuali bila dalam melaksanakan fungsi perbankan tidak bertentangan syariah.
Beberapa dalil Al Qur’an tentang larangan riba dapat kita lihat dalam Surat Al Baqarah ayat 275: “Orang-Orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkam riba. Barang siapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah ) kepada Allah . Barangsiapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal didalamnya.” Surat Ali Imran ayat 130: “Wahai orang yang beriman ! Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu beruntung”. Surat Ar Rum ayat 39 : ”Dan sesuatu riba ( tambahan) yang kamu berikan agar harta manusia bertambah, maka tidak bertambah dalam pandangan Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk memperoleh keridloaan Allah, maka itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)”. Surat An Nisa’ ayat 161:” Dan karena mereka menjalankan riba, padahal sungguh mereka telah dilarang darinya, dank arena mereka memakan harta orang dengan cara tidak sah (batil). Dan Kami sediakan untuk orang-orang kafir diantara mereka azab yang pedih”.
Dalam praktek perbankan konvensional saat ini, fungsi tersebut dilakukan berdasarkan sistem bunga. Bank konvensional tidak serta merta identik dengan riba, namun kebanyakan praktek dapat digolongkan riba. Riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan (بلاعوض) yang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran (زيادة الاجل) yang diperjanjikan sebelumnya. Dari definisi riba, sebab (illat) tujuan (hikmah) pelarangan riba, maka dapat diidentifikasi praktek perbankan konvensional yang tergolong riba. Riba fadl ( usury from exchange transaction) dapat ditemui dalam transaksi jual beli valuta asing yang tidak dilakukan secara tunai. Riba nasi’ah (usury due to fixed predetermined return) dapat ditemui dalam pembayaran bunga kredit dan pembayaran bunga tabungan/deposito/giro. Riba jahiliyah ( usury from credit transaction) dapat ditemui dalam transaksi kartu kredit yang tidak dibayar penuh tagihannya. Jelaslah bahwa perbankan konvrnsional dalam melaksanakan beberapa kegiatannya tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah.

c. Bank Syari’ah
Pada zaman Rasulullah SAW, Muhammad al Amin pernah bermitra dengan Siti Khadijah, r.a dalam usaha perdagangan. Waktu itu Siti Khadijah r.a menyerahkan modal berupa barang dagangan kepada Muhammad al Amin bin Abdullah. Oleh karena Muhammad al Amin barang-barang tersebut diperjualbelikan di pasar , keuntungan dari hasil usaha tersebut kemudian di bagi untuk Siti Khadijah r.a dan Muhammad al Amin. Besarnya bagian masing-masing sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat. Inilah yang disebut dengan bagi hasil yang ditiru oleh bank syariah. Konsep dasar syariah tertuang dalam “Allah menghalalkan jual-beli – mengharamkan riba” (QS 2:275), “Jual-beli boleh dilakukan dengan penyerahan tangguh” (QS 2:282), “Jual-beli boleh dilakukan dengan penyerahan tangguh” (QS 2:282).
Perbankan syari’ah muncul melalui prases penyusunan dimulai sejak :
1. Tahun 2002 yaitu BI melakukan kajian dan hasilnya berupa Naskah Akademis
2. Tahun 2003 Naskah Akademis disampaikan kepada DPR RI & Pemerintah untuk dijadikan pertimbangan penyusunan RUU
3. Penyusunan Draft RUU oleh DPR RI dimulai sejak tahun 2005
4. Pembahasan Draft RUU oleh Pemerintah (Depkeu, Depag, Depkumham) dimulai sejak Februari 2007 s/d Juni 2008.
5. UU No.21 Th 2008 tentang Perbankan Syariah
Dalam melakukan kegiatan usahanya Perbankan Syariah berasaskan Prinsip Syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian. (Pasal 2). “Demokrasi ekonomi” adalah kegiatan ekonomi syariah yang mengandung nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan. “Prinsip kehati-hatian” adalah pedoman pengelolaan Bank yang wajib dianut guna mewujudkan perbankan yang sehat, kuat dan efisien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kegiatan usaha yang berasaskan Prinsip Syariah, antara lain, adalah kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur Riba, Maisir, Gharar, Haram, Zalim. Dalam mencapai tujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional, Perbankan Syariah tetap berpegang pada Prinsip Syariah secara menyeluruh (kaffah) dan konsisten (istiqamah). Bank Syariah & UUS dapat menjalankan fungsi sosial sebagai lembaga Baitul Mal yaitu menerima zakat, infaq, sedekah, hibah atau dana sosial lainnya (a.l. denda terhadap nasabah (ta’zir) dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat. Bank Syariah & UUS dapat menghimpun dana sosial dan wakaf uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai kehendak pemberi wakaf (wakif).
Perbankan Konvensional dengan Pembiayaan Perbankan Syariah sangatlah berbeda. Perbedaan pokok antara perbankan konvensional dengan perbankan syariah adalah adanya larangan untuk membayar dan menerima bunga pada perbankan syariah. Karena bunga melekat pada pinjaman, maka perbankan syariah tidak menggunakan skema pinjaman dalam penyaluran dananya. Pinjaman hanya digunakan sebagai aktivitas sosial tanpa meminta imbalan. Setiap pinjaman yang disertai dengan imbalan adalah riba.

C. Produk Perbankan Syari’ah
Produk perbankan syari’ah dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu 1. Produk Penyaluran Dana, 2. Produk Produk Penghimpun dana , 3. Produk Jasa yang diberikan kepada nasabah. Dalam penyaluran dana nasabah produk pembiayaan syaria’ah dapat dilakasanakan dalam prinsip yaitu :
1. Prinsip Jual Beli (buy and sale ) , prinsip ini dilaksanakan sehubungan dengan adanya perpindahan kepemilikan barang atau benda (transfer of property). Transaksi ini dapat dilaksanakan dengan pembiayaan murabahah, yaitu akad jual-beli atas barang tertentu, dimana dalam transaksi jual-beli tersebut penjual menyebutkan dengan jelas barang yang diperjual-belikan termasuk harga pembelian dan keuntungan yang diambil. Bank bertindak sebagai penjual, sementara nasabah sebagai pembeli. Harga jual adalah harga beli bank dari pemasok ditambah keuntungan. Kedua pihak harus menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran. Salam adalah akad jual beli suatu barang dimana harganya dibayar dengan segera, sedangkan barangnya akan diserahkan kemudian dalam jangka waktu yang disepakati.. bank bertindak sebagai pembeli, sementara nasabah bertindak sebagi penjual, ketika barang telah diserahkan kepada bank, maka bank akan menjual kepada rekanan nasabah dengan harga yang ditetapkan bank. Istilah ini biasanya disebut pembiayaan talangan(bridging financing). Istishna secara etimologi berarti minta dibuatkan. Secara muamalah, istishna’ berarti suatu perjanjian jual-beli antara mustashni’ (pemesan/pembeli) dan shani’ (produsen/penjual) dimana barang (mashnu’) yang akan diperjual-belikan harus dipesan terlebih dulu dengan kreteria yang jelas. Perbedaannya dengan salam hanya terletak pada cara pembayarannya. Salam pembayarannta harus di muka, sedang pada istishna boleh di awal, ditengah atau di akhir.
2. Prinsip Sewa (Ijarah), transaksi ini dilandasi adanya perpindahan manfaat, jadi pada dasarnya prinsip ijarah sama dengan prinsip jual beli. Bila pada jual beli objek transaksinya adalah barang, maka pada ijarah objek transaksinya adalah jasa
3. Prinsip Bagi Hasil (Syirkah), produk pembiayaan syari’ah ini dapat berupa musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan porsi kontribusi dana atau kesepakatan bersama. “Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah seorang dari mereka tidak mengkhianati temannya. Jika mengkhianati maka Aku keluar dari keduanya.” (H.R. Abu Daud dan Hakim). Secara spesifik bentuk kontribusi dari pihak yang bekerjasama dapat berupa dana, barang perdagangan ( trading asset), kewirausahaan (entrepreneurship), kepandaian(skill), kepemilikan (property), kepercayaan (credit worthiness) dan sebagainya. Mudharabah disebut juga Muqarradhah yang berarti bepergian untuk urusan dagang. Secara muamalah, Al Mudharabah adalah Akad kerjasama antara pemilik dana (shahibul maal) dengan pengusaha (mudharib) untuk melakukan suatu usaha bersama. Keuntungan yang diperoleh dibagi antara keduanya dengan perbandingan nisbah yang disepakati sebelumnya. Perbedaan yang esensial dari musyarakah dan mudharabah terletak pada besarnya kontribusi atas manajemen dan keuangan atau salah satu diantaranya. Dalam mudharabah modal hanya berasal satu pihak, sedangkan dalam musyarakah modal berasal dari dua pihak atau lebih.
4. Akad Pelengkap, akad pelengkap ini tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, namun ditujukan untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan. Akad ini diperbolehkan untuk meminta besarnya pengganti biaya yang telah dikeluarkan. Bentuk akad pelengkap ini dapat berupah Hiwalah ( Alih Utang Piutang) , bank mendapatkan ganti biaya jasa pemindahan piutang. Untuk mengantisipasi resiko kerugian yang timbul, bank perlu melakukan penelitian atas kemampuan pihak yang berutang dan kebenaran transaksi antara yang memindahkan piutang dangan yang berhutang. Rahn (Gadai/Pawn), tuuan akad rahn adalah memberikan jaminan pemabayaran kembali kepada bank dalam memberikan pembiayaan. Qardh (pinjaman uang) adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharap imbalan. Wakalah (Perwakilan/power of attorney) dalam aplikasi perbankan terjadi apabila nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan jasa tertentu seperti pembukaan L/C (letter of credit), inkaso dan transfer uang. Kafalah ( garansi bank ) diberikan dengan tujuan untuk menjamin pembayaran suatu kewajiban pembayaran.
Penghimpunan dana bank syari’ah dapat berbentuk giro, tabungan dan deposito. Prinsip operasional yang diterapkan dalam penghimpunan dana masyarakat dapat dilaksanakan dengan prinsip wadiah dan mudharabah.
1. Prinsip Wadiah (deposit), adalah Aqad antara pemilik dengan penyimpan, untuk menjaga harta/modal dari kerusakan atau kerugian dan untuk keamanan harta. Tipe Wadiah ; Wadiah Yad Amanah (kepercayaan) dan Wadiah Yad Dhamanah (simpanan yang dijamin). Bank Syariah menggunakan prinsip wadiah yad Dhamanah dalam pengoperasian giro dan tabungan.
2. Prinsip Mudharabah, terdapat dua tipe mudharabah :Mudharabah mutlaqah : dimana pemilik (shahibul maal) dana memberikan keleluasaan penuh kepada kepada pengelola (mudharib) untuk mempergunakan dana tersebut dalam usaha yang dianggapnya baik dan menguntungkan. Namun pengelola tetap bertanggung jawab untuk melakukan pengelolaan sesuai dengan praktek kebiasaan usaha normal yang sehat (uruf), Mudharabah Muqayyadah : dimana pemilik dana menentukan syarat dan pembatasan kepada pengelola dalam penggunaan dana tersebut dengan jangka waktu, tempat, jenis usaha dan sebagainya.
Bank dapat melakukan berbagai pelayanan jasa perbankan kepada nasabah dengan mendapat imbalan berupa sewa atau keuntungan. Jasa perbankan tersebut dapat berupa :
1. Sharf ( Jual Valuta Asing/money changer), pada prinsipnya jual-beli asing sejalan dengan prinsip sharf. Jual beli valuta yang tidak sejenis , ini penyerahannya harus dilakukan pada waktu yang sama (spot). Bank mengambilkeuntungan dari jual beli valuta asing.
2. Ijarah (sewa/lease), jenis kegiatan ijarah antara lain penyewaan kotak simpanan (safe deposit box) dan jasa tata laksana administrasi dokumen . bank dapat imbalan sewa jasa tersebut
Dari produk perbankan syari’ah diatas dapat kita simpulkan bahwa, dunia Islam telah meletakkan konsep bisnis yang benar-benar membawa kemaslahatan bagi pengguni bumi ini.